Selasa, 21 Agustus 2007

KEKUATAN POLITIK SEPAKBOLA Oleh : Cecep Hidayat

Pupus sudah harapan bangsa Indonesia untuk mengukir sejarah, tim PSSI yang dibanggakan warga Negara Indonesia, akhirnya mengakui keunggulan salah satu tim raksasa Asia, yakni Korea Selatan dengan skor sangat tipis (0-1). Sebuah laga yang mendebarkan sekaligus menentukan bagi tim PSSI, karena dari partai inilah, sebuah harapan untuk mengukir sejarah persepakbolaan nasional untuk pertama kalinya dapat lolos ke dalam babak delapan besar Piala Asia dipertaruhkan.
Akan tetapi, ada satu hal yang menarik dari gegap gempita keikut sertaan timnas Indonesia, serta kepercayaan Negara Indonesia menjadi salah satu tuan rumah dalam perhelatan sepakbola paling akbar se-Asia ini, momen ini telah sukses menjadi penabur harapan, kebanggaan, sekaligus hiburan, bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Menebarnya virus demam bola di Negara Indonesia minggu-minggu terakhir ini, pula berimbas kepada gaung isu politik yang sedang berkembang saat ini.
Masih teringat dalam ingatan kita, seminggu sebelum pembukaan laga perdana piala Asia di gelar, pemberitaan-pemberitaan media massa sangat dipenuhi isu politik disintegrasi bangsa akibat munculnya insiden logo partai GAM di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, perayaan kemerdekaan serta pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, dan kejadian mempermalukan presiden SBY di Ambon lewat pengibaran bendera Republik Maluku Selatan di depannya. Ironis dan sungguh luar biasa, semua isu besar yang sangat mengancam perpecahan dalam tubuh NKRI tersebut, secara serentak menjadi tak terdengar, semuanya seolah terpendam mati, oleh gaung berita kecermelangan penampilan perdana tim nasional, ketika secara mengagumkan mengalahkan tim Bahrain.
Ada satu pelajaran berharga dari fenomena ini, bahwa terdapat suatu potensi besar dalam sepakbola, yang bila dimanfaatkan secara sebaik-baiknya, dapat menjadi sebuah media politik positif, salah satunya adalah untuk mempertahankan NKRI dengan jalan memantik kembali kobaran api nasionalisme. Makanya tidak heran, bila seorang presidenpun secara langsung menonton laga tim nasional, karena di samping memiliki fungsi sebagai media motivator bagi para pemain, ada sesuatu yang lebih utama dari itu semua, yaitu kesempatan ini dapat menjadi alat politik, yang mempunyai kekuatan efek luar biasa besar bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Pun, tidak mengherankan pula, ketika setelah pertandingan lawan Korea Selatan usai, walau kalah, secara langsung presiden menyalami dan merangkul setiap pemain, karena memang sepatutnyalah pemerintah memberikan ucapan terima kasih bagi para pahlawan olahragnya, karena dengan penampilan mereka, isu-isu politik yang menekan pemerintah saat ini, menjadi reda sejenak. Sehingga wajar, ketika sebelum melakukan pertandingan, pemerintah selalu menjanjikan bonus menggiurkan bagi tiap pemain, karena semakin lama keikutsertaan tim PSSI dalam arena piala Asia ini, maka semakin lama pula redaan perhatian publik terhadap tekanan politik yang ditujukan kepada pemerintah.
Indikator lain, betapa dahsyatnya pengaruh sepakbola, dapat terlihat di daerah bencana lumpur panas Sidoarjo, bila sebelumnya selalu memberikan berita arena kesedihan, dan demo menuntut penggantian kerugian kepada PT.LAPINDO, berbeda dengan biasanya, warga korban lumpur panas LAPINDO, kali ini terberitakan ikut bersuka ria, oleh gegap gempita ajang piala Asia. Seolah terhipnotis oleh daya magis aksi Ponaryo Astaman cs, warga korban lumpur panas LAPINDO secara serentak, melupakan sejenak derita yang menghinggapi mereka, dan ikut bergembira dengan puluhan juta penduduk yang lain di seluruh pelosok negeri ini.
Sepakbola dan Politik
Memahami betapa besarnya orang yang suka dengan olahraga sepakbola, menyebabkan sepakbola seringkali tidak dapat dipisahkan dari dunia politik, oleh karena itu sepak bola sering digunakan oleh para politikus sebagai media politik untuk mendapat simpati sebanyak-banyak massa. Salah satu contoh dapat dilihat di Italia, sebagai salah satu Negara dengan industri sepak bola terbesar di dunia, mantan perdana menteri Silvio Berlusconi, yang juga sekaligus pemilik klub besar AC MILAN, merupakan salah satu contoh politikus yang jeli memanfaatkan fanatisme massa pecinta sepakbola, sebagai alat direct selling suara guna memenangkan pencalonan dirinya, serta memperkuat posisi politiknya.
Dalam sejarah lainnya, diktator Adolf Hitler juga pernah memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DBF) untuk propaganda politik Nazi. Begitu pula di Spanyol, diktator Franco pernah pula memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya, tak ketinggalan juga diktator Mussolini pada Piala Dunia tahun 1934, karena meyakini besarnya “daya magis” politik ajang sepak bola terbesar di dunia tersebut, sampai-sampai memaksakan Pila Dunia harus dilaksanakan di Italia dan klubnya harus ‘menang atau mati.
Contoh lain hubungan erat antara sepak bola dan politik, juga dapat terbukti di tahun 1990, tepatnya pada saat Piala Dunia, legenda sepak bola Diego Armando Maradona saat itu diangkat oleh Presiden Menem sebagai duta resmi Argentina. Presiden Menem tidak semena-mena tentunya ketika memutuskan seorang Maradona sebagai duta negaranya, karena memang pada saat tersebut, Maradona sudah dianggap “nabi” dari sebuah “agama” sepakbola di negaranya. Fanatisme massa yang kuat terhadap Maradona pada waktu itu sampai tingkat pengkultusan, sehingga bila kita datang ke Negara Argentina, kita akan menemukan Iglesia Maradoniana (Gereja Maradona), sebuah agama parodi yang mendewakan Diego Maradona sebagai “nabinya”, dan pengikutnya pun cukup banyak, 15 ribu orang.
Integralitas antara politik dengan sepak bola, pada beberapa Negara bahkan mencapai tingkat ekstrimitas. Salahsatu contohnya adalah di Amerika Latin, salah seorang pemain sepakbola Kolombia, Luis Suarez pernah menyatakan “di Amerika Latin, batas antara sepak bola dan politik itu samar. Ada daftar panjang pemerintahan yang jatuh setelah tim nasional mereka kalah”. Dan sejarah pernah mencatat pula bahwa pernah ada Perang Sepak Bola, sebuah perang antara Honduras dan El Savador pada tahun 1969 yang pecah setelah pendukung kesebelasan kedua Negara itu bentrok pada penyisihan Piala Dunia 1970.
Di Indonesia pun, sangat kentara sekali, upaya-upaya pemanfaatan olahraga sepak bola sebagai media politik, kehadiran presiden dalam dua laga terakhir tim nasional dalam ajang Piala Asia kemarin, patut untuk diperhitungkan sebagai upaya politis guna memperkuat popularitas, dan posisi kepemimpinan dirinya. Tidak ketinggalan pula, wakil presiden, selalu memancing perhatian massa dengan memunculkan diri dengan membuat statmen dukungan dan pembagian bonus bagi tim PSSI, pula merupakan contoh lain upaya pemanfaatan integralisasi politik dengan sepakbola lainnya. Sehinnga tidak mengherankan, dalam masa kepemimpinan dirinya, partai GOLKAR dalam acara ulang tahunnya, menggunakan pertandingan sepakbola, sebagai salah satu acara intinya.
Contoh lain penggunaan sepakbola sebagai media politik, sangat kentara pada kejuaraan PIALA EMAS BANG YOS. Ajang kejuaraan, yang langsung menggunakan nama penyandang dananya tersebut, pula merupakan salah satu contoh upaya pemanfaatan efek politik dari sepak bola dalam rangka memperkuat posisi politiknya, karena besarnya perhatian massa merupakan media empuk dalam mempertahankan popularitas, dan menarik simpati hati dari masyarakat, khususnya para pecinta bola.
Multi Makna Sepak Bola
Adanya identifikasi antara sepak bola dengan dunia politik, merupakan efek rambatan dari multi makna yang dimiliki sepakbola itu sendiri. Karena memang sepak bola sebagai olah raga yang paling digilai di jagad raya ini, tidak hanya memiliki makna media kesehatan semata. Sepak bola telah hadir sebagai olahraga yang berefek sosial, ekonomi, serta politik atau ideologi.
Salah satu contoh multi makna yang dimiliki sepak bola adalah kemampuannya dalam menggiring gaya hidup penduduk dunia. Kita semua tentunya mengenal seorang David Beckham, pemain bola asal Inggris ini, ditenggarai dapat mengubah gaya hidup pria seluruh dunia. Dandanan gaya rambutnya yang selalu berganti-ganti sangat ditunggu halayak, kaca mata yang dipakainya menjadi tren, dan tak lupa pula segala hal terntang kehidupan pribadinya selalu menjadi gossip yang menarik, bahkan untuk publik Amerika Serikat yang tak pernah melihatnya merumput, ia adalah ikon metroseksual yang paling top.
Tentu saja, dunia sepak bola tidak hanya punya David Beckham. Ada lusinan pemain bola lainnya yang dianggap mampu mendoktrinkan gaya hidup dan tren mode tertentu kepada penduduk dunia. Di Italia salah satu contohnya, Giorgo Armani, seorang desainer asal Milan mampu memanfaatkan daya magis pemain bola sebagai model ketika mempromosikan pakaian hasil karya-karyanya. Penggunaan pemain bola sebagai model tentunya adalah pilihan analitis karena konon katanya para pemain bola sudah menjadi ikon gaya hidup baru yang mampu menyaingi budaya yang di usung Hollywood.
Sepakbola dan Nasionalisme
Adanya multi makna yang dimiliki olahraga sepak bola, merupakan sarana yang menguntungkan bagi solusi isu keretakan bangsa, nilai posisi sepak bola sebagai media universal yang dapat masuk menembus ke dalam rintangan tembok SARA, telah terbukti jitu dalam meredam isu perpecahan bangsa. Oleh karena itu potensi ini jangan sampai ternoda nilai-nilainya akibat terlalu banyak kepentingan permainan politik yang dimainkan di dalamnya. Karena dihawatirkan akan menumpulkan fungsi universal sepakbola, yang selama ini bermanfaat positif bagai penumbuh kembangan nilai-nilai nasionalisme bangsa.

SEPAK BOLA MEMANG UNTUK POLITIK ! Oleh : Cecep Hidayat

Kemenangan sensasional Irak akhirnya menutup secara resmi ajang Piala Asia. Ajang yang menjadi hajat terbesar sepak bola se-Asia ini memberikan dampak yang besar bagi munculnya kembali rasa nasionalisme di setiap negara peserta, terkhusus di negeri sang pemenang. Kemenangan ini memantik kembali rasa nasionalisme rakyat Irak, sehingga meredakan sejenak kebencian yang selalu menginspirasi mereka untuk membunuh saudaranya sendiri.

Sepakbola dan Politik
Dampak kemenangan timnas Irak terhadap hadirnya kembali rasa nasionalisme rakyat Irak merupakan salah satu bukti kongkrit dari integralisasi sepak bola dengan politik. Sebagai olahraga yang paling digilai manusia sejagad ini, menyebabkan sepakbola seringkali tidak dapat dipisahkan dari dunia politik, oleh karena itu sepak bola sering digunakan oleh para politikus sebagai media politik untuk mendapat simpati sebanyak-banyak massa.

Salah satu contoh dapat dilihat di Italia, sebagai salah satu Negara dengan industri sepak bola terbesar di dunia, mantan perdana menteri Silvio Berlusconi, yang juga sekaligus pemilik klub besar AC MILAN, merupakan salah satu contoh politikus yang jeli memanfaatkan fanatisme massa pecinta sepakbola, sebagai alat direct selling suara guna memenangkan pencalonan dirinya, serta memperkuat posisi politiknya.

Dalam sejarah lainnya, diktator Adolf Hitler juga pernah memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DBF) untuk propaganda politik Nazi. Begitu pula di Spanyol, diktator Franco pernah pula memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya, tak ketinggalan juga diktator Mussolini pada Piala Dunia tahun 1934, karena meyakini besarnya “daya magis” politik ajang sepak bola terbesar di dunia tersebut, sampai-sampai memaksakan Pila Dunia harus dilaksanakan di Italia dan klubnya harus ‘menang atau mati.

Contoh lain hubungan erat antara sepak bola dan politik, juga dapat terbukti di tahun 1990, tepatnya pada saat Piala Dunia, legenda sepak bola Diego Armando Maradona saat itu diangkat oleh Presiden Menem sebagai duta resmi Argentina. Presiden Menem tidak semena-mena tentunya ketika memutuskan seorang Maradona sebagai duta negaranya, karena memang pada saat tersebut, Maradona sudah dianggap “nabi” dari sebuah “agama” sepakbola di negaranya. Fanatisme massa yang kuat terhadap Maradona pada waktu itu sampai tingkat pengkultusan, sehingga bila kita datang ke Negara Argentina, kita akan menemukan Iglesia Maradoniana (Gereja Maradona), sebuah agama parodi yang mendewakan Diego Maradona sebagai “nabinya”, dan pengikutnya pun cukup banyak, 15 ribu orang.

Integralitas antara politik dengan sepak bola, pada beberapa Negara bahkan mencapai tingkat ekstrimitas. Salahsatu contohnya adalah di Amerika Latin, salah seorang pemain sepakbola Kolombia, Luis Suarez pernah menyatakan “di Amerika Latin, batas antara sepak bola dan politik itu samar. Ada daftar panjang pemerintahan yang jatuh setelah tim nasional mereka kalah”. Dan sejarah pernah mencatat pula bahwa pernah ada Perang Sepak Bola, sebuah perang antara Honduras dan El Savador pada tahun 1969 yang pecah setelah pendukung kesebelasan kedua Negara itu bentrok pada penyisihan Piala Dunia 1970. Lalu bagaimana dengan sepak bola Indonesia ?.




Sejarah sepakbola Indonesia berasal dari politik
Menurut Bagja Hidayat dalam tulisannya menerangkan bahwa sejarah lahirnya sepak bola Indonesia berasal dari kepentingan politik. Sepak bola Indonesia tidak lahir dari keinginan orang menjadi bugar. Umur sepak bola di Indonesia, khususnya Jawa, baru satu abad. Sepak bola yang masal digunakan sebagai sarana menumbuhkan nasionalisme.
Karena itu yang aktif merangsang kemuculan klub sepak bola di Indonesia adalah para tokoh pergerakan seperti MH Thamrin, Ki Hajar Dewantoro, bahkan Soekarno-Hatta. Mereka “menghasut” masyarakat agar tak tunduk pada penjajah dan bangkit melawannya. Mereka mendirikan organisasi untuk mewadahi klub-klub sepak bola. Pertandingan-pertandingan sepak bola kerap dipakai sebagai ajang diskusi dalam memantapkan strategi perjuangan.
Sebab sepak bola bukan kebiasaan orang bumiputera. Masyarakat lokal lebih mengenal sepak takraw dengan segala aturannya ketimbang sepak bola yang dibawa Belanda di awal abad 19. Ketika itu sepak bola dimainkan untuk menunjukkan kedudukan. Hanya pejabat Belanda dan warga dengan tingkat sosial yang sama dengan mereka saja yang boleh bermain bola. Orang bumiputera dilarang ikut atau memainkan olahraga ini.
Orang Tionghoa kemudian memainkan olahraga ini karena sentimen ras. Mereka tak ingin dinomorduakan dari orang Belanda. Tahun 1912 di Batavia saja muncul lima klub sepak bola Tionghoa. Masyarakat bumiputera, sementara itu, hanya terbatas orang terdidik saja yang dibolehkan bermain bola.
Dalam buku Politik dan sepak bola (2004), Srie Agustina Palupi mengutip berkala Algemeene Secretrarie terbitan 25 April 1894 yang melaporkan pembentukan klub sepak bola pertama bernama Road-Wit (Merah Putih). Pendirinya sekumpulan orang Belanda. Setelah itu muncul Victory di Surabaya oleh murid-murid HBS.
Klub sepak bola Belanda ini bernaung di bawah organisasi induk bernama Nederlandsch Indische Voetbal Bond. Organisasi ini melarang tim Belanda melawan tim bumiputera. Mereka sangat diskriminatif kepada klub di luar orang Belanda.
Pertandingan antar klub ini ditonton oleh banyak orang. Masyarakat kelas dua kemudian memainkannya setelah tentara Belanda melakukannya di tangsi-tangsi. Ketika itu sepak bola belum punya aturan ketat sehingga seringkali berakhir rusuh.
Sepak bola semakin menyebar ke setiap pelosok ketika orang terpelajar Belanda menyerukan politik etis di tanah jajahan. Pemerintah Belanda pun kemudian menyediakan sarana-sarana pendidikan bagi orang lokal yang di dalamnya mewajibkan mata ajaran olahraga. Keadaan ekonomi pun membaik di tahun 1920-an dengan majunya transportasi dan komunikasi. Media massa memainkan peranan dalam menyebarkan kabar pertandingan dan cita-cita klub sepak bola lokal.
Orang banyak semakin meminati permainan ini. Penjualan karcis setiap pertandingan selalu ludes. Orang rela berjalan jauh hanya untuk menonton sebuah pertandingan. Freek Colombijn dalam Politik sepak bola Indonesia (2000) mencatat, di Sumatera Barat pada 1920 ada bus khusus yang mengangkut penonton dari stadion ke pelabuhan dengan harga tiket yang berbeda-beda untuk penonton pribumi, pendatang dan orang asing.
Penyelenggara pertandingan pun mendapat rejeki nomplok. Di Bandung, sebuah pertandingan ditonton 11 ribu orang dengan tiket pemasukan 10.633 gulden. Berbeda dengan klub sepak bola Belanda yang mengkomersilkan pertandingan, klub sepak bola lokal memakai uangnya untuk mendirikan sekolah dan kegiatan sosial. Klub profesional lokal ini didirikan oleh para pemain sandiwara. Judi taruhan mulai membudaya dalam setiap pertandingan dengan bandar orang Jawa, Cina dan peranakan Arab.
Organisasi yang menaungi klub sepak bola lahir. Orang Tionghoa dengan Chinesesche Java Voetbalbond. Namun organisasi ini kocar-kacir karena tak ada figur pemimpin. Lalu orang bumiputera dengan kekuatan nasionalisme menumbuhkan klub-klub di setiap kota besar di Jawa. Tanggal 19 April 1930, klub-klub lokal berkumpul dan membentuk Perserikatan Sepakraga Seluruh Indonesia.
Ketika itu muncul istilah-istilah dari lapangan sepak bola. Penyerang dijuluki tukang goreng. Tim yang tak punya tukang goreng tak akan ditonton. Tukang babat merupakan julukan bagi pemain playmaker yang piawai merebut bola dari kaki lawan dan gesit mengopernya. Si srimpi, julukan untuk pemain yang bergerak lincah dan mampu menendang bola dari jarak jauh dengan keras. Sementara badut lapangan dikenakan kepada pemain yang bergerak dengan atau tanpa bola tapi bisa mengecoh lawan. Kadang-kadang juga menggiring bola sambil memegangi celana yang kedodoran.
Budaya Jawa ewuh pakweuh juga masuk ke lapangan sepak bola. Tendangan pinalti dianggap tidak sopan dalam pertandingan. Karena itu para algojo tendangan 12 langkah ini banyak yang menyiasatinya dengan sengaja menendang bola ke pinggir gawang atau menendang pelan ke arah kiper. Pokoknya, asal tak dicemooh seusai pertandingan sebagai orang tak tahu adat.
Belanda yang sadar dengan perkembangan ini mulai cemas. Pemerintah kolonial kemudian melarang orang pribumi memainkan sepak bola. Mereka mencurigai dan mengawasi setiap kegiatan pertandingan, takut jika disusupi aktivis pergerakan.
Saling boikot pertandingan pun terjadi antara kesebalasan Belanda dan tim pribumi atau Tionghoa. Tim Tionghoa meski tak memihak lebih condong mendukung pribumi karena merasa dianaktirikan Belanda.
Sekali waktu di bulan Mei 1932, tim Tionghoa memboikot pertandingan melawan Belanda. Ini mendorong klub pribumi melakukan hal yang sama. Ketika NIVB menyelenggarakan pertandingan di lapangan Thor Surabaya, pada waktu yang sama perserikatan sepak bola Surabaya menggelar pertandingan di stadion Tambaksari. Pertandingan ini dipimpin wasit perempuan, Ny Sardjono, dengan sarung dan kebaya. Para pemainnya adalah tokoh-tokoh terkenal seperti anggota dewan kota dan direktur bank. Penonton pun tersedot ke sana. NIVB tak cuma kehilangan muka, tapi juga rugi 20 ribu gulden.
Tiga tahun kemudian NIVB smembalas. Mereka tiba-tiba melarang salah satu klubnya bertanding melawan PS Solo. Kesebalasan Solo tentu saja kebingungan karena berita sudah disebar dan tiket sudah terjual. PS Mataram tahu pembatalan itu. Mereka pun datang menggantikan klub Belanda. Pertandingan tetap berjalan meski terlambat. Belanda, sekali lagi, dibuat jengkel oleh ulah orangorang pribumi.
Saling balas boikot itu berlanjut ke tahun-tahun berikutnya hingga PSSI batal merumput di Kejuaran Dunia di Paris tahun 1938. Belanda mulai membuka mata ketika kesebelasan Djakarta mampu mengalahkan kesebelasan NIVB. Kesepakatan pribumi-Belanda mengembangkan sepak bola Indonesia tercapai setelah itu. Para pengurus PSSI yang merupakan organisatoris jempolan menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata oleh penjajah. Sebuah semangat yang menular sampai sekarang hingga PSSI tetap menjadi “organisasi politik”.

Para Pencari Kebenaran (Refleksi Biografis Drama Hidup Orang-Orang Besar) Oleh : Cecep Hidayat

Sungguh nggak dimengerti! apa sesungguhnya yang berada di benak pemuda paruh baya itu, terlihat berhari-hari selalu ada dalam “kebingungan”, kening berkerut, sangat sering kelihatan merenung, sembari sedikit-dikit matanya yang tajam memperhatikan keadaan masyarakat sekitar. Ironis memang dengan perilaku lelaki itu, dengan harta yang melimpah, keturunan diri yang terhormat, kepercayaan masyarakat yang istimewa, isteri yang banyak diharapkan lelaki berada, serta putera-puteri yang penuh kelucuan, apa lagi yang menjadi pikirannya, semua hidupnya sudah senang!.
Semua yang melekat dalam dirinya adalah impian bagi orang-orang, akan tetapi memang benar bahwa hati nurani itu tidak pernah bisa dibohongi, pun setiap orang memposisikan dirinya lebih, ada ganjalan hati yang selalu membisikinya, bahwa bukan hanya untuk itu saja dirinya hidup, kata hatinya selalu menneriakinya bahwa hidup bukan hanya untuk sekadar hidup!, hidup pasti memiliki arah dan tujuan yang lebih tinggi dari sekedar menjalani hidup dengan cara-cara hidup yang juga biasa dijalani para binatang.
Kebingungan pria tampan paruh baya itu, selidik punya selidik bersumber pada ketidakmengertiannya pada gaya hidup yang berkembang pada masyarakat tempat beliau hidup, satu dan yang utama adalah patung yang mereka bikini sendiri mereka sembahi, pun mereka sadari bahwa kaki tangannya tidak pernah lekas berpindah dari posisinya, matanya tak pernah berkedip, mulut yang tidak pernah bersuara, bisa apa dia?! Ngurus dirinya saja tak mampu.,“aneh! kok mereka-mereka itu mau-mau saja menyembahinya” gumam hati kecilnya.
Keheranan pemuda yang berkedudukan tinggi di masyarakatnya ini, mengantarkannya kepada dimensi kontemplasi yang menuntunnya ber-“semedi” di sebuah gua, dengan hanya mengharap didapatnya petunjuk kebenaran langsung dari alam, waktu demi waktu terus menenggelamkannya dalam dunia perenungan, sampai masanya tiba, Sang pemilik kebenaran menyuruh Jibril untuk mentransferkan firman-firman-Nya kepada itu pria yang dikemudian hari diabadikan dalam sejarah sebagai awal mentasnya manusia tersebut, dengan menjadi pemegang estafet terakhir risalah kebenaran. Ya, itu adalah Muhammad! Sebuah nama yang sampai detik ini dijunjung mulia dan dipanutani oleh miliaran manusia seisi bumi.
Pun sama dengan garis hidup “bapaknya” yakni Ibrahim, beliau mengawali prestasi-prestasi gemilang hidupnya dengan sebuah proses yang sungguh sangat melelahkannya, ketekunan berfikirnya mengantarkan beliau kepada sebuah keyakinan mendalam bahwa ada sebuah kekuatan maha dahsyat yang menciptakan, dan mengatur segala keterjadian di alam semesta ini. Pertama, yang mulia tersebut tidak tahu bahwa zat itu adalah Allah, pencarian-pencarian terus dilakukan, disamping matahari, bulan dan kekuatan lain yang dianggapnya layak menjadi pengisi sumber kekuatan jiwanya, ruhnya terus mencari jawaban akan pertanyaan siapa sebenarnya sosok pengendali mutlak di alam ini yang layak untuk dipertuhankan, sampai akhirnya sang pemilik semesta yang sebenarnya, memberinya anugerah yang maha besar yaitu kemakrifatan kepada-Nya.
Dahsyat memang tragedi hidup yang terjadi pada dua orang besar tersebut di atas, sebuah proses yang sungguh meletihkan, menggelisahkan, bahkan membawanya kepada timbulnya kebencian manusia-manusia pada masanya, serta tidak jarang mengundang orang untuk berani menghentikan alur laju umur hidupnya, telah mentorehkan namanya pada sejarah peradaban manusia, sebagai aktor penggagas dan pemegang risalah TAUHIDISME. Sebuah faham yang menyatakan tidak ada sumber kekuatan apapun, yang layak untuk diagung-agungkan, yang patut diibadahi, dituruti, disembahi, dijadikan tujuan dan arah hidup seutuhnya, selain zat sang pemilik dan penguasa mutlak alam semesta dengan segala isinya ini yaitu ALLAH SWT!.
Ba’da masa kenabian tertoreh nama-nama besar lainnya yang mementaskan dirinya dalam sejarah kehidupan manusia, walau tak sebesar keduanya. Tercatat ada beberapa nama, pada masa sahabat tercatat nama Bilal bin Rabbah salah satunya, manusia yang teriwayatkan dalam sejarah sebagai insan yang melakukan pencarian kebenaran akan tuntunan hidup penuntun hidupnya, setelah sebelumnya tertekan penuh penderitaan oleh diskriminasi budaya jahil, sampai akhirnya kebenaran yang dicarinya dijumpainya dan membawanya kepada kemerdekaan sesungguhnya, dimana pada akhirnya secara langsung menderek tinggi status sosial yang dimilikinya. Waktu terus berlalu sampai berabad-abad kemudian, tertulislah nama Hasan Al-Bana sebagai salahsatu pewaris punggawa kebesaran dalam sejarah peradaban, untuk nama terakhir ini, sebelum kemudian zaman mengakuinya sebagai pemimpin besar, sudah tampak bakat-bakat kebesarannya yang menuntunnya menjadi orang besar, salah satu peran pendukung utamanya adalah tentang konsep diri yang dimilikinya. Suatu ketika seorang wartawan mesir mewawancarainya tentang siapa sebenarnya dirinya? Sang syekh tersebut dengan lantang menjawab bahwa “aku adalah sang pencari kebenaran!”.
Pencari kebenaran! Ya, itulah konsep diri yang terpatri dari orang-orang besar, sebuah konsep hidup yang menyebabkan dirinya menjadi tetap hidup tatkala jasadnya sudah tidak lagi hidup, serta sebuah konsep hidup yang menyebabkan mereka-mereka berbeda dengan jutaan manusia-manusia yang lainnya, yang “hidup” hanya ketika mereka hidup, itupun dengan kebelumtentuan manusia-manusia lain merasakan eksistensi ke-“hidup”-annya. Pula, mencari kebenaran adalah titik tertinggi pencarian yang membawa si empunya tubuh kepada sebuah dimensi hidup yang penuh dengan kebermaknaan, yakni kebermaknaan hidup yang dilandasi oleh adanya pengetahuan dan pemahaman akan hakikat hidup yang sesungguhnya, setelah sebelumnya menemui titik-titik kegelisahan yang mengganggu ketentraman jiwanya yang paling dalam, akibat ketidakpuasan dalam menjalani kehidupan secara alakadarnya, yang pada akhirnya membawa sang pelaku kepada derajat tertinggi kemuliaan yang sebenar-benarnya kemuliaan. Wallahua’lam bisshowab.